Minggu, 12 April 2015

683 (Last Page)



683 (Last Page)
a fanfic by Sukma (@sukma1221)
| Himchan [BAP], Joy [Red Velvet] | Sureal, Mystery, Fantasy, AU | Ficlet | PG–13 |
Di halaman terakhir sebuah buku itulah aku pertama kali mengenalmu, Joy.”

Dia adalah Joy.

Seorang gadis menyenangkan yang akhir-akhir ini mengisi kekosongan hariku. Seorang gadis bersurai caramel dengan bahasan menarik yang selalu membuatku ingin mendengar suara alto-nya.

Dia adalah Joy.

Seorang gadis yang selalu tersenyum ketika aku bahagia, yang selalu mengingatkanku ketika aku lupa makan malam, yang selalu merecokiku dengan omelannya ketika aku menentang orang tuaku, yang selalu membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolahku, yang selalu menangis ketika aku mulai menyalahkan diriku. Dan yang selalu berdiri di pojok kamarku ketika aku terlelap mengarungi alam mimpi.

Dia adalah Joy.

Seorang gadis pengertian yang setiap hari menanyakan; ‘Apa hari ini kau sudah tersenyum?’ dengan suaranya yang bergetar pelan. Seorang gadis yang selalu menerima senyum dariku setelah ia melontarkan pertanyaannya. Seorang gadis yang tersenyum dengan bibir pucatnya.

Dia adalah Joy.

Seorang gadis dengan wajah sendu yang selalu menatapku dalam kebisuannya. Seorang gadis yang selalu mengamatiku dari pagi hingga larut malam. Seorang gadis yang kuyakini adalah penjaga hidupku.

Dia adalah Joy.

Seorang gadis dengan tutur bahasanya yang selalu membuatku terdiam dan menurut. Seorang gadis yang mengatakan padaku untuk meminta maaf pada orang tuaku setelah aku membentak mereka. Seorang gadis berhati malaikat yang kutemui beberapa hari yang lalu di suatu perpustakaan kota. Seorang gadis yang berdiri di antara tumpukan buku-buku berdebu nan usang.

Dia adalah Joy.

Seorang gadis yang mengikuti semenjak dua minggu yang lalu. Seorang gadis yang kuterima dengan senang hati. Seorang gadis yang mulai memasuki rongga kehidupanku yang semula terasa seperti cangkang kosong.

Benar. Dia adalah Joy.

Gadis yang terjebak di halaman sebuah buku. Joy yang selalu berdiam diri dan membisu di halaman belakang sebuah buku. Manik hazel-nya yang menatapku dengan teduh, sarat akan sebuah kesedihan yang mendalam. Joy yang terpisah dari orang-orang yang ia cintai selama beberapa tahun lamanya.

Tepat. Dia adalah Joy.

Gadis refleksi yang tercipta dari fantasi gilaku setelah membaca halaman terakhir sebuah buku. Halaman enam-ratus-delapan-puluh-tiga.

“Dia adalah Joy.

Gadis cantik yang selalu menghampiriku setiap malam. Joy dengan semua pesona malaikat yang ia miliki. Gadis fantasi yang akan imaji-mu ciptakan setelah membaca kalimat terakhir buku ini.

Dan aku adalah Joy. Senang berkenalan denganmu. Terima kasih sudah membaca bukuku. Mulai detik ini, gadis yang selalu berada di sampingmu adalah Joy.”

“Himchan.” Suara dengan frekuensi rendah itu memasuki indera pendengaranku. Aku menoleh, mendapati Joy yang tersenyum sedih tepat di belakangku.

“Bisa kau ulangi setelah aku, Himchan?” Ia bertanya dengan nada memohon. Aku segera menganggukkan kepalaku, menyanggupi permintaannya tanpa berpikir dua kali. Bisa kulihat setitik air mata membasahi pipi putih pucatnya.

“Karena mulai sekarang, Kim Himchan adalah Joy.”

Aku mengernyit mendengar perkataannya, tapi aku tidak bisa melayangkan protes yang sudah berada di ujung lidahku. Mulutku seakan terkunci, dan bisa kurasakan sesuatu yang aneh akan mencuat dari bibirku.

“Karena mulai sekarang, Kim Himchan adalah Joy.”
FIN

Minggu, 15 Maret 2015

[Vignette] Bringing Happiness



[Vignette] Bringing Happiness
a fanfic by Sukma
Cast: Red Velvet’s Joy & EXO’s Chen | Genre: Sad, Fluff/Comfort, Tragedy | Rating: General | Duration: Vignette (1.231word) | Disclaimer: I just own the idea and plot :D
-
Ia begitu membenci musim gugur...
-
Joy terdiam, menatap delusi dari lampu kota yang memasuki netranya. Helaan nafasnya terdengar begitu jelas–mendominasi semua suara yang terdengar. Si gadis menutup manik hazel-nya dengan damai.
-
Daun maple, pie hangat, angin sore yang berhembus.
Ia berusaha untuk tidak menikmati semuanya...
-
Suhu minimalis yang membelenggu raga ringkihnya membuat semua memori terasa sukar untuk diingat. Kecuali memori kelamnya dengan seseorang yang dulu begitu mempesona.
-
Baginya, musim gugur tidak pernah membawa kebahagiaan...
-
Selama Joy mengenalnya, semua persoalan hidupnya terasa begitu mudah untuk dilewati. Joy berpikir seseorang yang begitu mempesona tersebut akan menemaninya setiap saat. Namun, keinginan sangat bisa bertolak belakang dengan kenyataan. Persepi Joy salah.
-
Hanya dengan memikirkan musim gugur, ia cukup muak.
Musim gugur tidak pernah menyenangkan dimatanya...
-
Chen. Begitulah Joy memanggilnya. Seseorang yang Joy anggap begitu mempesona. Chen yang menjadi cinta pertama untuk Joy. Chen yang sangat hangat dan menyenangkan.
-
Dulu, ia begitu menyukai musim gugur–bahkan menantinya.
Hanya karena sebuah alasan, musim gugur tidak lagi menjadi favoritnya...
-
Joy terlalu percaya pada keinginannya. Pemikiran akan Chen yang akan meninggalkannya suatu saat tidak pernah singgah di otaknya. Ia menyayangi Chen, dan Chen pun begitu. Mereka adalah remaja yang tengah mengalami masa jatuh cinta untuk pertama kalinya. Selang beberapa waktu, mereka menjalin sebuah hubungan manis. Mereka sepasang kekasih mulai detik ini.
-
Sekarang, ia tidak lagi menyukai kesukaannya sejak kecil tersebut.
Musim gugur terlalu menyedihkan untuk diingat...
-
Hubungan mereka baik-baik saja selama dua puluh empat bulan–ah, dua tahun. Joy masih sama seperti saat Chen mengenalnya untuk pertama kali. Kekanakan namun pengertian. Hal itu yang membuat Chen mempertahankan Joy. Walau hatinya berteriak kalau ia bosan dengan gadis itu. Rasa sayang itu mulai menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, Chen menyembunyikannya. Ia hanya tidak ingin hati Joy terluka karenanya.
-
Seharusnya, ia menyadari hal ini sejak lama.
Rasa sayang ini akan menghilang juga nantinya. Harusnya ia menyadari hal itu...
-
Joy menyadari perubahan sikap Chen. Lelaki itu mulai menghindarinya secara bertahap. Namun Joy adalah tipikal orang yang selalu berpikir positif. Mungkin perubahan sikap kekasihnya itu karena umur mereka yang tidak lagi sama seperti dulu. Joy hanya bisa terdiam dalam kemakluman bisu. Ia tidak bisa berbuat apapun.
-
Dengan begitu, ia tidak akan merasakan rasa sakit seperti ini.
Rasa sakit yang tidak kunjung beranjak dari dirinya setelah bertahun-tahun menyiksa batinnya...
-
Mereka memutuskan untuk bertemu di akhir pekan musim gugur. Tepat bulan ke dua puluh enam kebersamaan mereka. Dan Joy memberanikan diri untuk menanyakan perubahan sikap Chen nantinya. Ia harus menanyakannya. Harus. Apapun resiko yang akan ia dapatkan, ia harus siap menerimanya. Joy adalah gadis yang mengutamakan rasa penasaran di atas segalanya.
-
Ia sangat percaya kalau rasa sayang yang diberikan padanya akan abadi.
Tapi, itu semua hanyalah kebohongan yang mudah diucapkan oleh semua orang...
-
“Chen, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”
Suara rendah si gadis mampu membuat Chen menoleh. Ia membalikkan tubuhnya, menghadap Joy yang sekarang menunduk dalam. Apa jalanan lebih menarik ketimbang wajah kekasihmu, Joy?
“Ya. Bertanyalah.” Dingin. Chen berubah menjadi sangat kaku sekarang. Lelaki itu tidak lagi mampu membuat hati Joy tenang. Ia meremas ujung white-dress yang ia kenakan. Rasa gugup menjalari tubuhnya. Ia seakan tidak bisa berkata-kata lebih banyak lagi.
“Apa... Apa sesuatu terjadi padamu? Kau berubah sekarang, Chen.”
Dan Joy tidak sanggup melihat reaksi Chen.
-
Dan ia hanya berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Mimpi buruk yang akan berhenti tatkala ia tersadar dari tidurnya...
-
“Apa maksudmu, Joy? Aku sama sekali tidak berubah. Mungkin hanya perasaanmu saja,” Chen menyangkal. Ia memandang si gadis dengan tatapan penuh selidik. Jauh di dalam hati Chen, ia mengiyakan ucapan tersebut.
Benar. Ucapan yang mengatakan bahwa Chen benar-benar sudah berubah.
-
Ia tidak bisa membencinya, bahkan untuk sedikit melupakannya beberapa menit.
Karena, ia masih sangat menyayanginya, lebih dari siapapun...
-
Joy memandang manik obsidian milik lelaki di hadapannya. Manik yang dulunya menatapnya bersahabat, kini tandas–tergantikan dengan pandangan datar tanpa arti. Hati lembut gadis itu terasa remuk. Ia tidak bisa menerima kenyataan menyakitkan ini. Chen–mungkin–sudah tidak lagi mencintainya.
“Ah, begitu? Aku juga berharap itu cuma perasaanku saja.”
Seulas senyum menghiasi bibir Joy. Senyum yang sayangnya terasa begitu sulit untuk Joy lakukan.
-
Sekarang ini, ia hanya menginginkan satu hal.
Ia hanya ingin seseorang yang ia cintai bahagia, meski kebahagiaan itu bukan karenanya...
-
Malam yang dingin membuat Joy dengan serta-merta merapatkan mantel coklat susu yang ia kenakan. Tubuhnya bergetar, tak mampu menahan rasa dingin yang menusuk kulitnya. Nafasnya terdengar teratur. Sunyi yang tercipta membuat Joy mampu mendengar detak jantungnya sendiri.
Ia tengah menikmati malam yang sendu ketika ponselnya berdering beberapa kali. Joy melirik layar ponsel dengan malas. Ia menghela nafas ketika sebuah nama terpampang dengan jelas.
Chen is calling...
Tangannya tergerak untuk meraih ponselnya. Ia harap suara menyenangkan itu menanyakan keadaannya saat ini, persis seperti yang Chen lakukan di awal hubungan mereka.
“Halo.”
“Joy, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu.”
Joy menelan ludahnya payah. Lagi-lagi, ia harus berhadapan dengan suara dingin milik Chen. Dan Joy sangat membencinya...
-
Demi seseorang yang ia cintai, ia rela melakukan hal apapun.
Meski ia harus mengorbankan hatinya sendiri untuk terus-menerus merasakan luka...
-
“Hubungan kita... sebaiknya sampai disini saja, Joy.”
Joy terdiam, membiarkan rasa hampa menguasai tubuhnya selama beberapa detik. Ia bisa merasakan jiwanya yang seakan menghilang–entah kemana. Sekarang ini Joy hanya berharap bahwa Chen hanya ingin membuatnya mati berdiri. Membuatnya mati rasa dengan deretan kalimat yang tidak pernah ingin Joy dengar.
“Aku tidak suka kau bermain-main seperti ini, Chen. Sekarang September. April masih lama tahu, haha.” Joy berusaha untuk tertawa, tapi itu sia-sia saja. Ia tidak bisa tertawa dengan lepas seperti dulu.
Chen yang mengubah hidupnya menjadi seperti ini.
-
Dua puluh enam bulan bukanlah waktu yang cepat.
Dan dua puluh enam bulan juga adalah memori indah sekaligus kelam yang ia miliki...
-
“Kali ini aku benar-benar serius, Joy. Aku ingin fokus pada studi-ku di Jepang.”
Seluruh saraf dalam tubuh Joy seakan lumpuh. Ia masih tidak bisa mempercayai kalau Chen akan pindah ke negara Sakura tersebut. Melanjutkan studi ke luar negeri berarti juga harus menetap disana kan?
“Oh, kau pernah menyinggung soal itu beberapa waktu yang lalu. Kau sudah memikirkannya lebih lanjut?”
“Bahkan sebelum aku memberitahukan hal ini padamu, aku sudah memikirkannya dengan baik.”
-
Inilah yang bisa ia berikan untuk seseorang yang ia cintai.
Membiarkannya memilih jalan hidupnya sendiri...
-
Joy benar-benar kehilangan kontak dengan Chen selama setahun. Lelaki itu tidak menghubunginya sama sekali. Ia pun begitu. Ia tidak ingin mengganggu Chen barang semenit. Meski ia tahu bahwa Chen sangat memiliki banyak waktu luang disana.
Gadis itu juga tahu, alasan lelaki itu pindah ke Jepang sebenarnya bukanlah untuk urusan pendidikan.
Chen berusaha untuk menjauhinya. Menjauh dengan alasan melanjutkan studinya benar-benar membuat batin Joy remuk.
Chen terlalu jahat untuk dikatakan sebagai manusia sekarang...
-
Karena sekarang Joy sadar. Ia tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk terus bersama dengan Chen. Lelaki itu pernah mengatakan untuk selalu menyayanginya, menjaganya, tidak pernah pergi jauh darinya.
Tapi sekarang, semuanya bertolak belakang...
Yang ada hanyalah rasa hampa yang akan menemani selama sisa waktu hidupnya...
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Joy menemukan sebuah fakta mengejutkan.
Fakta bahwa rasa sayang yang manusia miliki tidak pernah abadi...
–END–

Kamis, 19 Februari 2015

[Fanfic] 21 And Still Counting



21 And Still Counting
A fanfic by 09:21 PM (@sukma1221)
Cast : RV’s Wendy & OC || Genre : Horror || Rating : PG–13 || Note : I just own the idea, plot and OC :D And this fanfic based from urban legend from USA :) Enjoy it, everyone ^ ^
-
“...21...21...21...”
-
“Bibi, apa yang sedang Bibi hitung?”
-
Atmosfer mengerikan yang bertabrakan dengan kesunyian malam membuatku mendesah pelan. Kulirik jam kuno yang tergantung di salah satu pilar kokoh sebuah stasiun. Aku menelan ludah dengan susah payah ketika otakku menafsirkan bahwa jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
Dingin yang tak biasa membungkus ragaku, membuatku mau tak mau harus merapatkan mantel coklat susu yang tengah kukenakan. Bibirku bergetar sembari menggumamkan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Perutku menggeram, mengingat aku tidak memakan secuil pun makanan saat makan siang tadi.
Aku meremas perutku untuk menghalau rasa lapar yang menyerang. Aku nyaris saja terjungkal ke belakang kalau saja sebuah suara berat tidak memasuki telingaku. Dengan sisa tenaga yang ada, aku menolehkan kepalaku dan mendapati seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan tengah terduduk di sebuah bangku kayu stasiun.
Wanita itu menunduk, membuatku sedikit kesulitan untuk memperkirakan bagaimana parasnya. Bibirnya mengucapkan kalimat yang dengan mudahnya terbaca olehku.
“...21...21...21...”
Aku mengedarkan pandanganku, berharap menemukan suatu objek yang tengah wanita itu hitung. Namun aku tidak menemukan apapun. Hanya ada aku dan si wanita tua misterius dengan hitungan yang sama, 21.
Pada akhirnya, aku menggerakkan kaki lemasku untuk mendekati wanita tersebut.
“Bibi, apa Bibi menghitung sesuatu?” tanyaku begitu berada sekitar tiga meter di depannya.
Wanita itu tidak menjawab pertanyaanku, masih menghitung dengan suara bergetar yang membuatku semakin penasaran. Apa ia adalah salah satu pasien rumah sakit jiwa yang melarikan diri?
“Bibi, aku bertanya, apa yang sedang Bibi hitung?” Sedikit kesal, aku melayangkan pertanyaan dengan nada ketus yang kentara. Ayolah, kau tidak suka dengan orang yang mengabaikanmu, bukan?
Suara kereta yang datang mengisi keheningan diantara kami. Aku maju, menepuk pundak si wanita tua untuk memberitahukan padanya bahwa kereta telah tiba.
Wanita itu beranjak dari duduknya dan mencengkram pundakku dengan keras, lantas mendorongku ke arah rel. Aku memekik ketika punggungku menyentuh dinginnya besi rel. Netraku membulat ketika sadar bahwa kereta yang akan aku tumpangi hanya berjarak lima meter dari tubuhku.
Aku tidak bisa berpikir apapun saat roda kereta itu melindas tubuhku, membuat jiwaku keluar dari ragaku saat itu juga dengan sadisnya.
-
Wanita tua itu hanya terdiam ketika gadis yang sudah menjadi incarannya sejak tadi terlindas roda kereta. Darah bercipratan mengenai wajahnya, namun sepertinya sama sekali tidak mengganggunya.
Ia kembali terduduk di bangku kayu yang sama dan mulai menghitung dengan suara pelan dan bergetar.
“...22...22...22...”
-

Minggu, 04 Januari 2015

[Drabble] I'm Hungry


[Drabble] I’m Hungry
scriptwriter © sukma
f(x)’s Luna & EXO’s Chen
Daily Life
Duration : Drabble (150 words)
PG–13
. . .
Chen benar-benar lapar. Namun jam masih menunjukkan pukul lima sore–dan itu bukanlah jam untuk makan malam. Setidaknya, ia harus menunggu satu jam lagi hingga ia bisa memanjakan perutnya yang kosong tersebut.
Ia mengalihkan pandangannya pada pintu yang terbuka dan menampilkan sosok Luna yang memasuki rumah dengan tampang kacau–mungkin kelelahan setelah seharian bekerja. Chen bersorak dalam hati, mungkin ia bisa merengek pada gadis mungil itu untuk memberikan sesuatu untuk mengganjal perut kecilnya.
“Chen, kau tidak memberantakkan rumah, ‘kan?” Luna bertanya setelah mendudukkan dirinya pada sebuah sofa. Ia menatap Chen yang berperilaku aneh di depannya. “Hei! Ada apa denganmu?”
Luna berpikir sejenak, mencoba mencari tahu apa yang salah pada Chen. Ia melengos pelan ketika menyadari bahwa sahabatnya itu sangat kelaparan. Ia beranjak dan menuju kulkas. Meraih sebotol susu dan menumpahkannya pada mangkuk perpaduan hitam-putih bertuliskan ‘CHEN’.
“Haha, kau sangat lucu, Chen.”
. . .
“Hei, Chen. Habiskan susumu. Jangan sampai tum–hei!”
“Miaw!”
. . .

Minggu, 16 November 2014

[Oneshoot] Hi, How are You?


[Oneshoot] Hi, How are You?
scriptwriter © ping_
[EXO] Kim Jongdae & [OC] Hana
School Life, (Little) Romance
PG–13
I just own the idea and plot :D
.
.
.
Gadis itu. Aku selalu menyukainya meski ia berkali-kali mengatakan 'aku membencimu!' saat sekolah menengah dulu. Aku hanya bisa tersenyum canggung saat ia mendapatiku tengah memperhatikan segala gerak-geriknya. Gadis itu memutar bola matanya dengan pelan sebagai reaksi spontan atas perlakuanku.
Aku juga sering meletakkan secarik kertas pada buku matematikanya dengan warna dan tulisan yang sama; kertas berwarna biru langit dan tulisan 'Hai, apa kabar?' yang membuatnya seakan kehilangan semangat hidup. Aku tersenyum miris saat ia meremas kertas tak berdosa tersebut dan membuangnya tepat ketika aku memaku pandanganku padanya. Menyedihkan.
Berkali-kali ia mengataiku sebagai penguntit tidak tahu malu di depan kelas dan membuat semua orang menertawaiku dengan senyum mengejek mereka. Aku memilih tidak peduli, kembali menyibukkan diri pada sebuah kertas kosong yang tidak tertulisi apapun. Aku terdiam ketika mereka melewatiku dan mengatakan sama persis dengan apa yang dilontarkan gadis tersebut; penguntit tidak tahu malu.
Tahun-tahun berlalu dan kini aku sadar bahwa aku hanyalah seseorang yang membuat orang lain jengah dengan perilaku konyolku–anggapan bodoh mereka yang tidak sepenuhnya benar. Pun gadis itu. Ia masih menatapku dengan pandangan anehnya yang membuatku seakan ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan Pasifik. Ia pergi ke Amerika untuk beberapa tahun tanpa memberi pemberitahuan. Oh ayolah, ia seakan tidak mengenalku saat aku menemuinya di bandara; mengantar keberangkatannya sekaligus mengatakan 'jaga dirimu disana.'
Musim dingin kembali bertemu untuk ketiga kalinya semenjak ia pergi meninggalkan Korea. Aku tengah menulis hal-hal tidak penting saat ia berdiri di depan rumahku dengan tatapan hangat dan bersahabat. Gadis itu tersenyum tatkala aku membuka pintu dan menatapnya dari bawah ke atas–mencari perubahan yang mungkin terlihat oleh mata telanjangku.
"Hai, Kim Jongdae! Aku baik-baik saja," ucapnya tanpa menunggu pertanyaanku–seakan tahu apa yang akan kupertanyakan. Aku tersenyum mendengarnya berkata demikian.
"Halo, Hana. Sudah tiga tahun, ya?" Aku melangkah mendekatinya, menatap maniknya yang berair ketika aku satu langkah berada di hadapannya.
"Kim Jongdae yang bodoh, aku merindukanmu. Aku merindukan 'penguntit tidak tahu malu'ku ini." Ia menghapus titik air mata yang melewati pipinya.
Sesaat, aku kehilangan oksigen untuk beberapa detik ketika ia maju untuk memelukku.
–fin–

Selasa, 04 November 2014

Please Believe and Stay



Kenapa begitu?
Kenapa kau hanya datang di saat musim semi berakhir?
Kenapa begitu?
Apakah salah jika diriku ingin lebih dekat denganmu?
Percayalah dan tetap tinggal disini
Aku tidak akan pergi lebih dari satu senti
Kenapa kau hanya mengulaskan senyum menyedihkanmu itu ketika musim semi berakhir?
Tidak cukup bagiku memandangi wajah mempesonamu itu dibalik kaca pigura usang
Tidak cukup bagiku mendengar suaramu yang hanya bagaikan desiran angin
Apa aku salah memilihmu sebagai temanku dalam mengarungi hidup?
Jangan pernah berpikir aku akan meninggalkanmu seperti beberapa waktu yang lalu
Karena aku sudah berjanji tidak akan mengulangi kesalahan bodohku itu lagi
Kau hanya perlu menggenggam tanganku dan percaya bahwa aku ini bukan lagi bayangan semu bagi kehidupanmu... 

Rabu, 29 Oktober 2014

[Drabble] 5 Second


[Drabble] 5 Second
Jung Ilhoon, Sunmi
Little Romance
ping_
-oOo-
Aku tidak sengaja menabraknya, gadis dengan manik hitam kelam yang membuatku terpesona padanya hanya dalam 5 detik. Aku berdiri mematung, mengabaikannya yang sedang kesusahan mengambil puluhan buku tebal yang tercecer di lantai.
Dalam 15 detik, aku tersentak dan segera membantunya. Aku bisa mendengarnya mengucapkan kata ‘terima kasih’ dengan pelan. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis.
“Maaf... Aku benar-benar minta maaf,” aku menunduk beberapa kali di hadapannya. Anehnya, ia malah memasang wajah dinginnya, membuatku sedikit canggung.
“Itu bukan salahmu,” ucapnya singkat dan berlalu dari hadapanku. Aku terdiam di tempatku, memandangi punggungnya yang bergerak menjauhiku.
‘Aku pasti bisa mendapatkannya dalam 2 minggu.’